Gaya Bahasa dan Kritik Sosial dalam Midah, Si Manis Bergigi Emas
Sabtu, 31 Mei 2025 17:07 WIB
Iklan
Midah, Si Manis Bergigi Emas, gaya bahasa yang digunakan Pramoedya Ananta Toer mencerminkan ciri khas kepengarangannya
Dalam novel Midah, Si Manis Bergigi Emas, gaya bahasa yang digunakan Pramoedya Ananta Toer mencerminkan ciri khas kepengarangannya yang kuat dalam menyampaikan kritik sosial melalui bahasa yang lugas namun penuh makna. Ia menggunakan bahasa yang sederhana dan mudah dipahami, namun di balik kesederhanaan itu tersembunyi banyak lapisan makna sosial dan psikologis. Gaya bertuturnya tidak menonjolkan keindahan estetika yang berlebihan, melainkan menekankan pada fungsi naratif dan kritik.
Pilihan katanya cermat, efektif, dan penuh empati terhadap tokoh-tokohnya, terutama Midah sebagai tokoh utama. Pramoedya tidak hanya menyampaikan cerita, tetapi juga mengajak pembaca merenung tentang ketidakadilan sosial, patriarki, dan kemiskinan yang sistemik melalui kata-kata yang tajam, realistik, dan kadang sinis.
Dalam aspek majas atau gaya bahasa kiasan, Pramoedya tidak banyak menggunakan metafora yang rumit, namun ia sering memakai sindiran (ironi), hiperbola, dan personifikasi untuk menekankan kritik sosialnya. Misalnya, ketika menggambarkan keadaan masyarakat kota yang kejam, ia tidak menggambarkannya secara sentimental, tetapi menggunakan majas yang menggambarkan keterasingan manusia dari nilai-nilai kemanusiaan.
Begitu pula dalam menggambarkan tokoh laki-laki yang memanfaatkan Midah, penulis menggunakan ironi dan sarkasme untuk mengecam perilaku patriarkal yang sudah dianggap lumrah dalam budaya. Semua ini membuat pembaca dapat merasakan emosi yang mendalam, tanpa harus terjebak dalam bahasa yang berbunga-bunga. Dengan cara ini, Pramoedya tetap mempertahankan kesan realis dalam tulisannya.
Sementara itu, latar dalam novel ini tidak hanya berfungsi sebagai tempat dan waktu, melainkan sebagai elemen penting yang memperkuat tema dan karakterisasi. Latar utama adalah Jakarta—digambarkan sebagai kota yang penuh kontradiksi: megah tetapi bengis, ramai tetapi penuh keterasingan. Kota ini bukan hanya menjadi tempat berlangsungnya peristiwa, tetapi juga menjadi simbol dari ketimpangan sosial dan kerasnya kehidupan perkotaan.
Kehidupan jalanan, rumah-rumah sempit di gang-gang kota, hingga interaksi sosial antara warga dari kelas bawah dan atas, semuanya digambarkan dengan detail dan jujur. Waktu dalam cerita tidak terlalu ditentukan secara eksplisit, namun tampaknya berlatar pada masa pascakemerdekaan, ketika Indonesia mulai mengalami perubahan sosial dan ekonomi yang besar, namun tetap belum mampu menghapus ketidakadilan struktural. Latar ini menciptakan nuansa yang mendalam dan mendukung konflik batin serta perjuangan tokoh utama.
Dengan perpaduan antara gaya bahasa yang tegas dan komunikatif, majas yang fungsional, serta latar yang hidup dan simbolis, Pramoedya berhasil membangun sebuah karya sastra yang tidak hanya menyentuh secara emosional, tetapi juga menggugah kesadaran sosial pembacanya. Setiap unsur tersebut saling melengkapi dan memperkuat pesan moral serta kritik yang ingin disampaikan penulis melalui kisah Midah.

Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Gaya Bahasa dan Kritik Sosial dalam Midah, Si Manis Bergigi Emas
Sabtu, 31 Mei 2025 17:07 WIBMenjadi Penolong di Tengah Dunia yang Pasif: Refleksi dari Cerpen A.A. Navis
Kamis, 29 Mei 2025 19:47 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler